Pagi bersama Gus Najih: Ekstrimisme dan Hidup di Negeri Minoritas Islam

Jakarta, 26/06


M. Najih Arromadloni, biasa disebut Gus Najih, berbagi dengan para penerima beasiswa NU Scholarship (NUS) dari Lakpesdam PBNU tentang bagaimana hidup sebagai kaum minoritas di Negara lain.


Berawal dari belajar di Damaskus, kota terbesar di Syuriyah, yang kemudian berjalan beberapa tahun hingga beliau bertemu dengan kondisi perang disana. Sehingga menjadikan hal tersebut sebagai titik awal konsern beliau dalam mempelajari dan meneliti tentang kaum minoritas dan ekstrimisme.


Wawasan beliau tentang negara minoritas sangat luas. Dan setelah pulang ke Indonesia pun beliau masih tetap sama mengunjungi Poso, Sulawesi. Tempat tersebut berada di ujung Sulawesi yang masih banyak pembunuhan, mutilasi dsb. Sehingga hati beliau tergerak untuk membantu atau berkontribusi dengan keilmuan yang telah dimilikinya untuk mengurangi hal-hal ekstrim disana. Beliau juga membangun kantor berbasis NU dan bahkan Pondok Pesantren NU disana. 


Ekstrimisme merupakan isu masyarakat gelobal di banyak negara, dan bukan tentang Islam tetapi di semua agama. Kaum esktrimisme ini melakukan kejahatan dengan tanpa rasa bersalah, bahkan merasa bangga dengan apa yang telah dikerjakan.


Beliau menceritakan berbagai contoh terorisme atau ekstrimisme di berbagai negara, seperti yang sedang dunia ketahui di Palestina, Thailand Selatan, India, Jepang, dan beberapa negara yang lain. 


Meskipun secara konstitusional banyak negara menjamin kebebasan setiap warga yang berada di negara yang ditempati untuk menjalankan agama sesuai dengan keyakinan masing-masing. Namun tidak sedikit juga negara yang masih mengakarkan rasisme yang membedakan cara pandang dan perlakuan kepada warga yang berbeda dengan mayoritas agama disana. 


Sebagai intelektual, harusnya kita mengkaji ekstrimisme sampai kepada kajian geolistik. bahwa terorisme dan sebagainya itu bukan hanya berdiri dari negara yang berbasis agama saja, tetapi juga ada campur tangan negara barat. 


Bahkan di Indonesia banyak kelompok besar terorisme yang masih merajalela. Diantaranya adalah Jamaah Islamiyah (JI) dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Mereka masih menggebu-nggebu mendirikan Negara Islam di Asia Tenggara. Sebagian besar mereka menggunakan landasan Jihad. Sangat disayangkan, padahal makna Jihad sebenarnya sangat baik, yakni bekerja keras. Jadi Jihad sebenarnya dapat dimaknai pada berbagai bidang, tidak hanya isu tentang perang. 


Gus Najih menyebutkan salah satu kisah pada zaman Nabi Muhammad SAW. Terdapat seseorang yang hendak mengikuti perang pada zaman itu, kemudian Ia meminta izin kepada Nabi, dan beliau bertanya "apakah kamu memiliki orang tua yang harus dirawat?", pemuda tersebut menjawab "ya, saya memiliki orang tua yang setiap hari saya rawat". Maka Rosul menjawab "menjaga kedua orang tuamu merupakan salah satu bentuk jihad, jadi kamu sudah tidak perlu ikut berperang"


Artinya banyak faktor yang dapat dimaknai sebagai jihad.


Hidup dan belajar di negara lain tentu tidak akan jauh dan terlepas dari hal-hal minoritas. Jika tidak dibekali dengan ideologis dan landasan yang kuat, maka akan sangat rawan jika nanti tidak dapat menyelesaikan pendidikan, atau bahkan tidak dapat kembali ke Tanah Air Indonesia. 


Jika banyak kisah bahwa hidup di tempat minortas nanti akan menemukan beberapa kesulitan, termasuk beribadah, bersosial dan lain sebagainya. Dari hal tersebut, Gus Najih mengatakan bahwa kita sebagai kader NU dan juga santri harus dapat memposisikan dan menyesuaikan diri dimana kita berada. Tentu budaya, tradisi dan aturan hukum setempat harus tetap dihargai. 


Teringat dawuh Gus Ulil dalam beberapa kesempatan yang lalu, bahwa jika kita menemukan kesulitan yang sedikit tidak sesuai dengan apa yang menjadi kebiasaan kita, kemudian dapat berlaku kaidah fiqhiyyah: al-'aadatu muhakkamatun, bahwa tradisi yang berlaku dapat dijadikan ketentuan hukum dalam bersosial dan menjalankan kehidupan dengan nyaman. Artinya, agar tidak selalu kaku dan saklek dengan kotak pemikiran-pemikiran yang berbeda, maka harus berfikir secara luwes dan rendah diri tapi tetap dalam spektrum atau bingkai aturan yang benar sesuai dengan yang pendahulu-pendahulu jamiyyah Nahdlatul Ulama rumuskan dan tetapkan. 


#NUScholarship2024

Tidak ada komentar:

Posting Komentar