Jakarta, 29/06
Sore ini kami para penerima beasiswa NU Scholarship bersama menghadiri materi tentang Diaspora NU oleh Kyai Dede Permana. Sedikit mengenal beliau, Kyai Dede berkesempatan belajar di Luar Negeri dengan beasiswa 5000 doktor angkatan pertama pada tahun 2012-2017. Beliau belajar di Universitas Tunisia yang merupakan negara Arab yang sangat Liberal. Bahkan seandainya beliau tidak mendengar suara Adzan maka tidak akan menyangka jika hidup di negara mayoritas muslim.
Sebelumnya, beliau berkesempatan belajar di Mesir pada tahun 2001-2005. Dan saat ini Kyai Dede menjadi Dosen di UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, juga sebagai Kepala Pusat Moderasi Beragama disana.
Pengasuh pondok pesantren Darul Iman tersebut mengatakan bahwa belajar di luar negeri memang bukan jaminan lebih baik dari di Indonesia, namun itu merupakan kesempatan emas. Fasilitas memadai, akses referensi, atmosfer belajar multi budaya, dan juga memiliki kesempatan berinteraksi dengan warga lokal. Beliau juga menyampaikan bahwa yang menjadi kunci dimanapun keberadaan proses belajar kita nanti, jangan pernah lupa dengan identitas ke NU an kita.
Sebagai kader NU yang berhasil menempuh pendidikan luar negeri, beliau berbagi kepada kami tentang Diaspora NU. Benih Diaspora NU di luar negeri berawal dari para mahasiswa NU yang tergabung dalam Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama (KMNU). Pada saat Gus Dur menjadi Presiden (1999-2001), terdapat sekelompok Islam garis keras yang sering membuly beliau di Yahoogroup. Kemudian hal tersebut mendorong para mahasiswa NU di luar negeri untuk mendirikan Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU). Mereka yang kuliah di Belanda membentuk PCINU Belanda, begitupun yang Jerman, Inggris dan negara lainnya. Sampai saat ini sudah terdapat 33 PCI, dan Inggris Raya adalah PCI pertama yang ber SK di tahun 2001.
Selanjutnya seperti tradisi NU pada umumnya, disanapun mahasiswa yang merupakan kader NU tetap mengadakan rutinan seperti yasinan, tahlilan, maulid atau berzanji. Kemudian didukung oleh suara PKB di Saudi yang sangat tinggi pada proses Pemilu 1999, Pak Fuad pun mengatakan jika itu adalah salah satu potensi NU.
Saat ini peran Diaspora NU sangat beragam jika dibandingkan dengan masa lalu. Dulu anak muda NU umumnya hanya belajar ilmu keagamaan ke Timur Tengah, namun belakangan ini banyak yang juga mempelajari Sains dan Teknologi di negara wilayah Eropa dan Amerika. Hal tersebut dikarenakan persoalan umat saat ini bukan hanya tentang fikih, akidah, halal-haram, dan lainnya. Tetapi lebih dari hal itu, termasuk permasalahan dalam hal pendidikan, kesehatan, dan ekonomi.
Kader-kader NU yang tersebar di luar negeri dapat diperankan sebagai duta besarnya NU. Baik secara akademik hingga politik, ekonomi, sosial dan budaya. Relasi Diaspora NU juga sangat luwes, cair, tidak kaku. Sejumlah kader cerdas NU juga mulai bermunculan sejak dulu di luar negeri, seperti Ainun Najib yang merupakan praktisi IT yang saat ini bekerja di IBM Singapura, Taufik Wijanarko di Inggris, Miftahul Huda di Jepang yang menjadi ketua PCINU disana, dan masih banyak lagi. Anak-anak muda tersebut sangat terbuka dan senang dalam berdiskusi dan berbagi dengan para kader-kader NU yang ingin melanjutkan pendidikan lebih jauh di luar negeri. Dan sejauh ini, wajah Islam ala Indonesia dapat diterima dengan baik di luar negeri karena dikenal kompatibel dengan budaya lokal.
#NUScholarship2024
Jakarta, 29/06
Sore ini kami para penerima beasiswa NU Scholarship bersama menghadiri materi tentang Diaspora NU oleh Kyai Dede Permana. Sedikit mengenal beliau, Kyai Dede berkesempatan belajar di Luar Negeri dengan beasiswa 5000 doktor angkatan pertama pada tahun 2012-2017. Beliau belajar di Universitas Tunisia yang merupakan negara Arab yang sangat Liberal. Bahkan seandainya beliau tidak mendengar suara Adzan maka tidak akan menyangka jika hidup di negara mayoritas muslim.
Sebelumnya, beliau berkesempatan belajar di Mesir pada tahun 2001-2005. Dan saat ini Kyai Dede menjadi Dosen di UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, juga sebagai Kepala Pusat Moderasi Beragama disana.
Pengasuh pondok pesantren Darul Iman tersebut mengatakan bahwa belajar di luar negeri memang bukan jaminan lebih baik dari di Indonesia, namun itu merupakan kesempatan emas. Fasilitas memadai, akses referensi, atmosfer belajar multi budaya, dan juga memiliki kesempatan berinteraksi dengan warga lokal. Beliau juga menyampaikan bahwa yang menjadi kunci dimanapun keberadaan proses belajar kita nanti, jangan pernah lupa dengan identitas ke NU an kita.
Sebagai kader NU yang berhasil menempuh pendidikan luar negeri, beliau berbagi kepada kami tentang Diaspora NU. Benih Diaspora NU di luar negeri berawal dari para mahasiswa NU yang tergabung dalam Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama (KMNU). Pada saat Gus Dur menjadi Presiden (1999-2001), terdapat sekelompok Islam garis keras yang sering membuly beliau di Yahoogroup. Kemudian hal tersebut mendorong para mahasiswa NU di luar negeri untuk mendirikan Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU). Mereka yang kuliah di Belanda membentuk PCINU Belanda, begitupun yang Jerman, Inggris dan negara lainnya. Sampai saat ini sudah terdapat 33 PCI, dan Inggris Raya adalah PCI pertama yang ber SK di tahun 2001.
Selanjutnya seperti tradisi NU pada umumnya, disanapun mahasiswa yang merupakan kader NU tetap mengadakan rutinan seperti yasinan, tahlilan, maulid atau berzanji. Kemudian didukung oleh suara PKB di Saudi yang sangat tinggi pada proses Pemilu 1999, Pak Fuad pun mengatakan jika itu adalah salah satu potensi NU.
Saat ini peran Diaspora NU sangat beragam jika dibandingkan dengan masa lalu. Dulu anak muda NU umumnya hanya belajar ilmu keagamaan ke Timur Tengah, namun belakangan ini banyak yang juga mempelajari Sains dan Teknologi di negara wilayah Eropa dan Amerika. Hal tersebut dikarenakan persoalan umat saat ini bukan hanya tentang fikih, akidah, halal-haram, dan lainnya. Tetapi lebih dari hal itu, termasuk permasalahan dalam hal pendidikan, kesehatan, dan ekonomi.
Kader-kader NU yang tersebar di luar negeri dapat diperankan sebagai duta besarnya NU. Baik secara akademik hingga politik, ekonomi, sosial dan budaya. Relasi Diaspora NU juga sangat luwes, cair, tidak kaku. Sejumlah kader cerdas NU juga mulai bermunculan sejak dulu di luar negeri, seperti Ainun Najib yang merupakan praktisi IT yang saat ini bekerja di IBM Singapura, Taufik Wijanarko di Inggris, Miftahul Huda di Jepang yang menjadi ketua PCINU disana, dan masih banyak lagi. Anak-anak muda tersebut sangat terbuka dan senang dalam berdiskusi dan berbagi dengan para kader-kader NU yang ingin melanjutkan pendidikan lebih jauh di luar negeri. Dan sejauh ini, wajah Islam ala Indonesia dapat diterima dengan baik di luar negeri karena dikenal kompatibel dengan budaya lokal.
#NUScholarship2024